Seputar Shalawat Nabi ﷺ

Seputar Shalawat Nabi ﷺ

Seputar Shalawat Nabi ﷺ

  • Pondok Sanad

  • 17 minute read

Di antara ciri kental kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah banyak melakukan shalawat Nabi ﷺ. Shalawat termasuk ibadah istimewa, Allah ﷻ dan para malaikat pun selalu bershalawat. Tidak ada ibadah lain yang diperintahkan dengan cara seperti ini. Allah ﷻ berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS al Ahzab: 56)

Shalawat Allah artinya adalah rahmat. Allah bershalawat kepada Nabi artinya Allah merahmati Nabi.

Manfaat shalawat pun sangat besar, Allah ﷻ menjamin sepuluh shalawat (rahmat) bagi orang yang bershalawat sekali. Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Siapa yang shalawat kepadaku sekali maka Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali. (HR Muslim)

Dalam riwayat Imam Nasa`i ada tambahan, “Digugurkan sepuluh kesalahannya, dan diangkat sepuluh derajat.”

Shalawat dapat menghapus dosa dan menenangkan jiwa yang gelisah. Ketika Sahabat Ubay bin Kaab ra bertanya kepada Nabi ﷺ, “Apakah sebaiknya aku jadikan seluruh waktu untuk berdoa sebagai shalawat untukmu?” Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَنْ تُكْفَى هَمُّكَ وَيُغْفَرُ ذَنْبُكَ

Jika demikian, kegelisahanmu akan sirna dan dosamu akan diampuni. (HR Turmudzi)

Dalam riwayat Ahmad ra disebutkan, “Jika demikian, Allah akan mencukupkan semua kebutuhan dunia dan akhiratmu.”

Ayat shalawat datang tanpa pembatasan, jadi hanya ahli bidah yang membatasi kebolehan shalawat pada waktu tertentu. Ibnu Katsir dalam tafsir ayat shalawat berkata, “ Ini (shalawat) sunah dilakukan setiap saat.”

Shigoh (bentuk) Shalawat

Ada sebagian aliran yang melarang dan membidahkan bentuk shalawat yang bersumber dari hadits dhaif atau gubahan ulama. Pendapat ini jelas keliru, tidak ada satu pun ulama salaf yang menyatakan shalawat harus bersumber dari hadits shahih. Shalawat adalah doa yang boleh diungkapkan dalam bentuk apa pun. Penambahan kata sahabat dalam shalawat serta ucapan shalallahu alaihi wa salam pun sebenarnya tidak dicontohkan Nabi ﷺ namun keduanya memenuhi semua kitab ulama yang diakui.

Banyak sekali jenis shalawat baru yang dinukilkan dari para sahabat dan para ulama salaf dan khalaf. Seperti shalawat Sahabat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas`ud, Ibnu Umar ra, Hasan al Bashri, Sufyan bin Said, Alqomah dan lainnya ra. Hampir semua kitab ulama yang diakui dimulai dan diakhiri dengan shalawat yang digubah sendiri. Imam Syafi`i dalam permulaan kitab Risalahnya mengatakan :

فَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الغَافِلُوْن

Kemudian, semoga Allah bershalawat kepada Nabi kita selama orang-orang yang ingat berdzikir kepada-Nya dan orang-orang yang lalai lupa untuk berdzikir kepada-Nya.

Hal yang sama dilakukan oleh Ibnu Hajar dalam permulaan Fathul Bari, Athabari dalam muqodimah tafsirnya, bahkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyim pun membuat shalawat tersendiri pada permulaan sebagian kitabnya.

Muhadits terkemuka Ibnu Sholah dalam muqodimah ilmu hadits bukan hanya membuat tapi juga menganjurkan semua muhadits untuk memulai periwayatan haditsnya dengan hamdalah dan shalawat yaitu :

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْأَتَمَّانِ الْأَكْمَلَانِ عَلَى نَبِيِّنَا وَالنَبِيِّيْنَ، وَآلِ كُلٍّ، مَا رَجَا رَاجٍ مَغْفِرَتَهُ وَرَحْمَاهُ.

Shalawat serta salam yang paling penuh dan sempurna semoga terlimpahkan kepada Nabi kita dan para nabi serta keluarga semuanya selama mengharap orang yang mengharap kepada ampunan-Nya dan kasih-sayang-Nya.

Dan masih banyak lagi contoh shalawat lain yang digubah para ulama seperti Shalawat Tafrijiyah (Nariyah), Shalawat Fatih, Shalawat Badar dan lainnya. Semua ini adalah shalawat yang tidak diajarkan dalam hadits shahih.  Dan semua shalawat itu benar selama isinya tidak bertentangan dengan syariat. Mereka yang menyatakan bahwa shalawat yang tidak diajarkan Rasulullah ﷺ adalah bid`ah artinya menuduh bid`ah kepada para sahabat, salaf dan ulama-ulama tersebut.

Shalawat yang paling utama memang adalah Shalawat Ibrahimiyah yang disebutkan dalam hadits shahih. Namun, bukan berarti tidak boleh menggunakan shalawat lain baik dalam shalat atau pun di luar shalat. Mengenai shalawat di dalam shalat, Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyatakan, “Jumhur ulama menyatakan cukup shalawat dengan lafadz apa saja yang dapat menunaikan maksud shalawat kepada beliau (Rasulullah) ﷺ.” Sedangkan mengenai shalawat di luar shalat Syaikh Sulaiman al Jamal dalam Hasyiahnya menyatakan, “Selayaknya (terhasilkan pahala shalawat) dengan bentuk apa saja namun telah dimaklumi bahwa bentuk shalawat yang paling utama adalah shalawat Ibrahimiyah.”

Shalawat setelah adzan

Sangat mengherankan masih ada yang menuduh shalawat setelah adzan sebagai perbuatan bidah. Shalawat disunahkan tanpa batasan waktu, artinya kapan pun boleh dilakukan termasuk setelah adzan atau qomat. Terlebih telah datang hadits shahih yang menganjurkan bershalawat setelah adzan. Nabi ﷺ bersabda,

 إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا….

Jika kalian mendengar muadzin maka katakan seperti ucapannya. Kemudian bershalawatlah kepadaku sebab orang yang bershalawat kepadaku maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali…..  (HR Muslim)

Apa lagi alasan untuk mengingkari setelah hadits yang jelas ini?

Sebagaimana sunah membaca shalawat setelah adzan begitu pula disunahkan untuk membaca shalawat setelah qomat. Ibnu Qoyim dalam Jalailul Afham mengatakan “Tempat ke enam daripada tempat-tempat pembacaan shalawat adalah setelah menjawab adzan dan ketika qomat.”

Majelis shalawat Nabi ﷺ

Sebagian orang ada yang mengingkari perkumpulan untuk membaca shalawat dan menuduhnya sebagai bidah. Padahal shalawat termasuk dzikir yang perkumpulannya dirindukan oleh para malaikat. Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling mencari majelis-majelis zikir. Jika mereka mendapatinya maka mereka menyeru satu sama lain, ‘Kemarilah menuju apa yang kalian cari.” Mereka pun menaungi dengan sayap-sayap mereka sampai langit dunia. Tuhan mereka bertanya-dan Dia Maha Mengetahui- ‘Bagaimana kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?’ Para malaikat berkata, ‘Ya Tuhan, kami tingalkan mereka ketika mereka bertasbih, memuja, beristighfar, meminta surga kepada-Mu serta berlindung dari neraka.’ Allah berfirman, ‘Aku persaksikan kepada kalian wahai malaikat-Ku, sungguh aku telah mengampuni mereka.’ (HR Bukhari dan Muslim)

Ini adalah dalil yang sangat jelas tentang dianjurkanya perkumpulan zikir termasuk di antaranya adalah perkumpulan shalawat. Satu perkumpulan yang tidak disebutkan shalawat di dalamnya adalah kerugian bagi pelakunya. Nabi ﷺ bersabda,

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِساً لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيْهِ، وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلَّا كَانَ عَلَيْهِمْ تَرة، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ

Tidaklah suatu kaum duduk dalam satu majlis yang mereka tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya dan tidak pula bershalawat kepada nabi mereka kecuali mereka akan mendapatkan satu kekurangan. Jika Allah kehendaki akan diadzab dan jika dikehendaki akan di ampuni. (Imam Turmudzi mengatakan hadits ini hasan)

Majelis yang kosong dari shalawat adalah sebuah kerugian, sebaliknya, majelis  shalawat merupakan majelis yang dirahmati. Berkumpul untuk melakukannya adalah sunah yang diperintahkan. Dalam hadits di atas Nabi menggunakan kata kaum dan kaum pastinya terdiri dari banyak orang.

Shalawat yang dipermasalahkan

Mereka yang mengingkari shalawat gubahan ulama biasanya berusaha menafsiri shalawat itu dengan pemikiran sendiri kemudian menuduhnya bidah atau bahkan syirik. Di antara shighot shalawat yang dicari-cari kesalahannya adalah perkataan muadzin ketika bershalawat.

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَوَّلَ خَلْقِ اللهِ

Semoga shalawat serta salam kepadamu wahai makhluk Allah yang pertama.

Mereka menuduh perkataan ini sebagai bidah karena manusia pertama adalah Nabi Adam as bukan Nabi Muhammad ﷺ.

Tuduhan bidah ini terlalu terburu-buru, memang benar Nabi Adam as adalah manusia pertama yang diciptakan jasadnya namun ruh Nabi Muhammad ﷺ lah yang pertama diciptakan. Banyak dalil yang dikemukakan para ahli tafsir mengenai ini diantaranya adalah sabda Nabi ﷺ:

كُنْتُ أَوَّلَ الْأَنْبِيَاءِ فِي الْخَلْقِ، وَآخِرَهُمْ فِي الْبَعْثِ

 “Aku adalah nabi yang pertama diciptakan namun yang terakhir diutus.” (HR Thabari)

Hadits ini mursal (putus pada tabiin) namun semua perawinya terpercaya. Asuyuthi menyebutkan bahwa sanadnya shahih. Hadits mursal adalah hujah menurut Imam Malik dan Abu Hanifah. Imam Ahmad mengamalkannya jika tidak ada dalil  lain dalam suatu bab. Dalam Madzhab Syafii, hadits mursal bisa diamalkan asalkan ada riwayat lain yang menguatkan. Hadits ini termasuk hadits yang memiliki penguat melalui riwayat dari Qotadah dari Hasan dari Abu Hurairah yang disebutkan dalam tafsir Ibn Katsir melalui jalur Said bin Basyir. Disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:

كٌنْتُ أَوَّلَ النَّبِيِّيْنَ فِي الْخَلْقِ وَآخِرَهُمْ فِي الْبَعْثِ، فَبَدَأَ بِيْ قَبْلَهُمْ

Aku nabi pertama yang diciptakan namun yang terakhir diutus. Maka aku yang mula-mula sebelum mereka.

Masih banyak jalur lain yang jika dikumpulkan menunjukkan bahwa hadits mengenai keberadaan Nabi ﷺ sebagai yang pertama diciptakan adalah benar adanya dan tidak perlu diinkari.

Sayidina

Ada pula yang menganggap penambahan kata sayidina (pemimpin kami) pada lafadz shalawat termasuk bidah karena gelar Sayid (pemimpin) adalah gelar khusus bagi Allaah ﷻ.

Pernyataan ini perlu diluruskan. Memang tidak ada penyebutan sayid dalam shalawat yang berasal dari Nabi ﷺ. Namun itu bukan berarti penyebutan sayid tidak dicontohkan oleh salaf. Di antara shalawat yang diajarkan Sahabat Ibnu Mas`ud ra adalah:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتَكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْن...

Ya Allah jadikanlan shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada sayidil mursalin…” (HR Thabrani)

Dalam Qoul Badi, Imam Sakhawi menyebutkan sanad hadits ini mauquf namun hasan. Syaikh Alaudin Maghlathi bahkan menshahihkannya.

Masalah penambahan kata sayid dalam shalawat ketika shalat tidak dinukilkan dari ulama salaf selain shalawat Ibnu Masud di atas. Ulama mutaakhirin berselisih mengenai hal itu, ada yang menyunahkan sebagai bentuk adab, ada yang memakruhkan dan ada pula yang masih belum bisa menentukan. Semuanya adalah para ulama yang dijadikan rujukan maka perselisihan mereka harus dihormati sebagaimana perselisihan dalam masalah ijtihad lainnya.

Sedangkan di luar shalat tidak ada satu pun ulama yang melarang menggunakan kata sayid untuk mensifati Nabi ﷺ. Bahkan Nabi ﷺ sendiri mensifati dirinya sebagai sebagai sayid dalam sabdanya:

أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Aku adalah pemimpin (sayid) manusia di hari kiamat. (HR Bukhari)

Dalam al Quran, Allah ﷻ mensifati Nabi Yahya as sebagai sayid:

وَسَيِّدًا وَحَصُورًا

Menjadi ikutan (sayid), menahan diri (dari hawa nafsu). (QS Ali Imran)

Jika Nabi Yahya as boleh disifati dengan sayid, maka bagaimana mungkin mensifati Nabi Muhammad ﷺ dengan sayid terlarang?

Lafadz sayid adalah lafadz umum untuk penghormatan. Dalam hadits shahih, Nabi sendiri pernah menyebut Sayidina Hasan sebagai sayid. Begitu pula Sayidina Umar pernah menyebut Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Bilal dengan sebutan Sayid. Yang dilarang untuk digelari sayid oleh Nabi ﷺ hanyalah orang munafik saja. Nabi ﷺ bersabda:

”لَا تَقُوْلُوْا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدُنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدُكُمْ فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ

Jangan kalian katakan kepada orang munafik sayiduna (pemimpin kami). Jika ia sayid kalian sungguh kalian telah membuat murka Tuhan kalian. (HR Ahmad)

Adapun hadits yang mengatakan bahwa ada sekelompok orang mengatakan kepada Nabi, “Engkau sayidina.” Kemudian Nabi menjawab :

السيد الله

Sayid (pemimpin yang sesungguhnya) adalah Allah (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan Abu Dawud)

Para ulama mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ menjawab demikian karena beliau memiliki sifat tawadhu (rendah hati) sehingga tidak suka dipuji dihadapannya. Maka beliau memalingkan pujian itu kepada Allah ﷻ. Hadits ini bukan sebagai larangan menggelari beliau sebagai sayid, sebab telah berlalu bahwa beliau sendirilah yang menggelari dirinya sebagai sayid.

Tidak ada salahnya menggelari Nabi ﷺ dengan sebutan sayid. Bahkan penggunaan kata sayid ketika menyebut Nabi ﷺ merupakan ungkapan penghormatan yang sesuai dengan perintah Allah ﷻ untuk memuliakan Nabi ﷺ dalam firman-Nya:

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا}

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). (QS an Nur: 63)

Shalawat Nariyah

Berbagai macam cara dilakukan untuk mengingkari bentuk-bentuk shalawat yang diajarkan para ulama. Modus populer mereka adalah mentafsiri makna shalawat kepada makna yang menyimpang agar dapat diinkari. Umumnya shalawat-shalawat tersebut diarahkan kepada makna syirik yakni menyekutukan Allah ﷻ. Padahal jelas umat Islam yang mengucapkan shalawat pasti memiliki keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Sebagai contoh shalawat Tafrijiyah atau Nariyah berikut:

اَللَّهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً، وَسَلِّمْ سَلَاماً تَامّاً عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكَرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمُ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمْ، وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ فِى كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Ya Allah berilah shalawat dengan shalawat yang sempurna dan berilah salam dengan salam yang sempurna atas penghulu kami Muhammad yang dengannya terlepas segala ikatan, lenyap segala kesedihan, terpenuhi segala kebutuhan, tercapai segala kesenangan, diakhiri dengan kebaikan. Hujan diturunkan berkat dirinya yang mulia. Juga atas keluarga dan sahabat-sahabatnya dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas sebanyak hitungan segala yang ada dalam pengetahuan-MU.

Mereka menyatakan shalawat ini sebagai shalawat sesat sebab terdapat penyandaran perbuatan Tuhan kepada Rasulullah ﷺ. Yang dapat mengurai belitan masalah dan kesusahan hanyalah Allah ﷻ bukan Rasulullah ﷺ. Jadi menisbatkan hal itu kepada Nabi adalah bentuk penyekutuan Allah.

Begitulah tafsir dan persangkaan mereka ini. Yang jelas persangkaan mereka itu adalah kesalahan fatal yang bersumber pada penafsiran yang salah. Perkataan:

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ

Yang dengannya terlepas segala ikatan

Maknanya bukan beliau ﷺ yang mengurai ikatan, namun dengan perantara dan wasilah beliau ikatan itu terlepas. Ini dapat difahami dengan mudah bagi yang mengerti bahasa arab. Begitulah pula lanjutan dari shalawat tersebut. Semua itu adalah bentuk tawasul dan tawasul berbeda jauh dengan syirik. Tawasul juga bukan bidah menurut para Imam terpercaya seperti Imam Ahmad ra. Ibnu Taimiyah sendiri menukilkan ucapan Imam Ahmad dalam kitabnya Rad `alal Ikhnai bahwa Imam Ahmad berkata tentang adab menziarahi makam Nabi ﷺ:

وَسَلِ اللهَ حَاجَتَكَ مُتَوَسِّلاً إِلَيْهِ بِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُقضَ مِنَ اللهِ تَعَالَى

Kemudian mohonlah kepada Allah segala kebutuhanmu disertai bertawasul dengan Nabi ﷺ maka Allah ta`ala akan mengabulkannya.

Anjuran yang serupa itu juga disebutkan oleh Imam Nawawi, Ibnu Qudamah dan lainnya dalam doa-doa ziarah kubur Nabi ﷺ. Mengikuti pendapat para Imam besar ini dalam masalah diperbolehkannya tawasul lebih sesuai dengan petunjuk dan lebih jelas dalilnya bagi para pencari kebenaran.

Majas Aqli

Penisbatan perbuatan Allah ﷻ kepada makhluk yang menjadi perantara terjadinya perbuatan tersebut bukanlah hal terlarang selama tetap meyakini bahwa Allah adalah pelaku hakikinya. Penisbatan ini dikenal dalam Bahasa Arab dengan istilah majas aqli. Di dalam al Quran dan hadits banyak contoh majas aqli. Di antaranya adalah ucapan Malaikat Jibril:

قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا

Ia (Jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci". (QS Maryam: 19)

Yang memberikan anak pada hakikatnya adalah Allah ﷻ, Malaikat Jibril hanyalah perantara saja. Tapi dalam ayat tersebut disebutkan bahwa yang memberikan anak adalah Jibril, inilah yang disebut majas aqli.

Dalam ayat lain disebutkan mengenai ucapan para malaikat kepada Nabi Ibrahim as mengenai Nabi Luth as dan kaumnya:

إِلَّا امْرَأَتَهُ قَدَّرْنَا إِنَّهَا لَمِنَ الْغَابِرِينَ

Kecuali istrinya. Kami telah menentukan, bahwa Sesungguhnya ia itu Termasuk orang-orang yang tertinggal (bersama-sama dengan orang kafir lainnya)". (QS al Hijr: 60)

Yang menentukan (mentakdirkan) adalah Allah ﷻ, malaikat hanya pelaksana dari takdir yang telah ditentukan. Penisbatan menentukan (mentakdirkan) kepada para malaikat pada ayat tersebut adalah majas aqli.

Ini juga ditemukan dalam sabda Nabi ﷺ ketika menceritakan mengenai pamannya Abu Thalib:

وَجَدْتُهُ فِى غَمَرَاتٍ مِنَ النَّارِ فَأَخْرَجْتُهُ إِلَى ضَحْضَاحٍ

Aku menemukannya di kedalaman neraka kemudian aku keluarkan ke tempat yang dangkal. (HR Muslim)

Yang mengeluarkan pada hakikatnya adalah Allah ﷻ. Nabi ﷺ dengan syafaatnya hanyalah sebab dikeluarkannya Abu Thalib. Penisbatan mengeluarkan kepada Nabi ﷺ ini yang disebut majas aqli.

Apabila kita telah memahami makna majas aqli dan penggunaannya, maka mudah bagi kita untuk memahami bentuk-bentuk shalawat Nabi ﷺ yang seakan menisbatkan perbuatan Allah ﷻ kepada Nabi ﷺ. Sebagai contoh dalam salah satu bentuk shalawat disebutkan:

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أَغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ وَالنَّاصِرِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيمِ

Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Sayyidina Muhammad, pembuka segala yang terkunci, penutup yang mendahuluinya, penolong kebenaran dengan kebenaran, dan penunjuk jalan kepada jalanMu yang lurus. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat kepada beliau, juga kepada keluarga beliau dan para sahabatnya, sesuai dengan derajat dan kedudukan beliau yang tinggi.

Yang membuka segala hal terkunci,menolong dan memberi petunjuk pada hakikatnya adalah Allah ﷻ. Namun karena Nabi ﷺ adalah perantara dan pelaksana hal-hal itu maka benar jika perbuatan itu disandarkan kepada Nabi ﷺ melalui jalur majas aqli.

Demikianlah tafsir yang benar atas shalawat-shalawat para ulama yang diakui. Mereka yang mengingkari bentuk-bentuk shalawat ulama ini tidak bisa membedakan antara tawasul dan syirik, dan tidak memahami makna majas aqli. Mereka menafsiri tawasul dan majas aqli dengan syirik untuk mengkafirkan umat Islam yang bershalawat dengan shalawat-shalawat ini.

Pujian berlebihan

Modus lain untuk mengingkari shalawat para ulama adalah dengan menuduhnya sebagai pujian berlebihan kepada Nabi ﷺ. Mereka juga menuduh syair-syair pujian kepada Nabi ﷺ sebagai pujian yang berlebihan yang bertentangan dengan sabda Nabi ﷺ:

 لَا تُطْرُونِي كما أَطْرَتْ النَّصَارَى بن مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أنا عَبْدُهُ فَقُولُوا عبد اللَّهِ وَرَسُولُهُ

 Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku seperti kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Ibn Maryam. Aku Hanyalah hamba Allah maka katakanlah (mengenaiku)“Hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR Bukhari)

Penentangan ini tidak benar. Dalam sabdanya Nabi ﷺ tidak hanya melarang pujian yang berlebihan namun juga menjelaskan makna berlebihan dalam memuji. Yaitu memuji sebagaimana kaum Nasrani memuji Nabi Isa as yaitu dengan menyandarkan sifat-sifat khusus bagi Allah kepadanya.

Pujian yang selain itu tidak dikatakan berlebihan. Kita diperbolehkan memuji Rasulullah dengan pujian-pujian yang indah selama tidak ada isyarat untuk menuhankan Beliau. Maka sah-sah saja kita katakan beliau sebagai Manusia paling agung, paling dermawan atau apa saja, selama tidak menuhankan beliau.

Mengenai perkataan Rasulullah dalam hadits di atas yang menyebutkan dirinya hanyalah sebagai “hamba Allah dan Rasulnya”, itu bukanlah larangan untuk memuji beliau dengan pujian lain akan tetapi merupakan bentuk sifat tawadhu .

Nabi ﷺ adalah sumber segala keutamaan. Dahulu, para sahabat sering memuji Beliau ﷺ dengan syair-syair mereka. Sebagian mereka membacakan syair pujian itu di hadapan Nabi ﷺ. Sebagaimana yang dikatakan Sahabat Hassan bin Tsabit kepada Sayidina Umar ra di dalam hadits riwayat Imam Muslim. Diceritakan bahwa Sayidina Umar mendapati Sahabat Hasan ra sedang membacakan Syair di masjid. Sayidina Umar menoleh kepadanya seakan mengingkari, lalu Sahabat Hassan berkata:

قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ

Aku pernah membacakan syair dan di dalamnya (masjid) terdapat orang yang lebih baik darimu (yakni Rasulullah). (HR Muslim)

Dalam riwayat lainnya disebutkan bait qasidah gubahan Sahabat Hassan mengenai pujian kepada Nabi ﷺ, kepada Sayidatuna Aisyah dan kepada Bani Hasyim secara umum.

Jika pujian yang jujur diperbolehkan, maka paling utamanya manusia yang dipuji adalah Nabi ﷺ. Dan Jika syair yang jujur diperbolehkan maka paling utamanya yang disebut dalam syair-syair adalah shalawat dan pujian kepada Nabi ﷺ.

Para sahabat sering-kali menyatakan sanjungan kepada Rasulullah ﷺ. Di antaranya adalah pujian yang disampaikan sahabat Hassan bin Tsabit :

وَأَحْسَنُ مِنْكَ لَمْ تَرَ قَطُّ عَيْنِيْ ... وَأَجْمَلُ مِنْكَ لَمْ تَلِدِ النِّسَاءُ

خُلِقْتَ مُبَرَّأً مِنْ كُلِّ عَيْبٍ ... كَأَنَّكَ قَدْ خُلِقْتَ كَمَا تَشَاءُ

Yang lebih baik darimu, belum pernah mataku memandangnya

Yang lebih indah darimu, belum pernah dilahirkan oleh para wanita

Engkau tercipta terbebas dari setiap kekurangan

Seolah engkau tercipta sebagaimana yang kau kehendaki.

Rasulullah tidak melarang para sahabatnya untuk memujinya, bahkan Rasulullah pernah mendoakan Sahabat Hassan dengan doa yang agung yaitu:

للَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ

Ya Allah teguhkanlah Hassan dengan ruh qudus (Jibril). (HR Muslim)

Tak kalah indahnya pujian yang disampaikan oleh Sahabat Sariyah :

فَمَا حَمَلَتْ مِنْ نَاقَةٍ فَوْقَ ظَهْرِهَا ... أَبَرَّ وَأَوْفَى ذِمَّةً مِنْ مُحَمَّدٍ

Tidak pernah seekor unta pun membawa seseorang di atas punggungnya

yang  lebih baik dan menepati janji daripada Muhammad.

Begitu juga pujian yang disampaikan para Sahabat dalam menyambut Rasulullah ketika sampai ke Madinah  :

طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْناَ مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعْ…  وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلهِ دَاعْ

Telah terbit rembulan di atas kita dari Tsaniyatil Wada (nama tempat)

maka wajiblah syukur atas kami selama masih ada penyeru ke jalan Allah

Masih banyak pujian-pujian yang disampaikan oleh para sahabat seperti pujian Ka`ab bin Zuhair yang membuat Nabi senang hingga menghadiahkan Burdah (selendang) kepadanya, dan pujian-pujian lainnya yang tak bisa dihitung jumlahnya.

Nama beliau sendiri, yaitu Muhammad, merupakan bentuk isim maf’ul dari Hammada yuhammidu tahmidan, yang secara bahasa artinya adalah yang banyak dipuji, ini merupakan isyarat bahwa Beliau memang pantas untuk selalu dipuji. Oleh karena itu, ketika Kakek Beliau, Abdul Muthalib, ditanya mengapa Beliau menamakan cucunya dengan Muhammad, padahal nama Muhammad merupakan nama yang tidak umum di kalangan Arab saat itu, maka Abdul Muthalib berkata, “ Aku menamakannya dengan Muhammad agar dia selalu dipuji oleh Allah di langit, dan dipuji oleh manusia Di bumi”. Dan Allah pun mewujudkan apa yang diharapkan oleh Abdul Muthalib, Rasulullah menjadi orang yang selalu dipuji sepanjang masa,

Jika dikatakan bahwa Rasulullah ﷺ tidak memerlukan pujian makhluk karena Allah ﷻ telah memujinya di dalam al Quran ketahuilah bahwa:

  1. Kita memuji Beliau ﷺ bukan karena beliau membutuhkan pujian namun karena beliau memang layak untuk dipuji.

  2. Para sahabat telah memuji Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ membiarkannya. Pembiaran Nabi ﷺ adalah salah satu dari bentuk sunah, mengikutinya adalah mengikuti sunah.

Pujian Allah

Dalam Al Qur’an, Allah berfirman dalam memuji Rasulullah ﷺ:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS Al Qalam : 4 ).

Disini Allah menyebutkan bahwa Rasulullah memiliki budi pekerti yang agung.  Apa yang Allah sebut Agung tentu merupakan hal yang tidak bisa kita jangkau dengan pikiran batasnya. Ini artinya kita bebas untuk menisbatkan sifat-sifat kesempurnaan makhluk bagi Beliau, tanpa batas (kecuali menjadikan beliau sebagai tuhan) karena setinggi apa pun pujian kita tetap saja tidak bisa mengungguli pujian Allah kepada Rasulullah ﷺ.

Alangkah benarnya Apa yang dikatakan Imam Bushiri dalam Burdahnya :

دَعْ مَا ادَّعَتْهُ النَّصَارَى فِيْ نَبِيِّهِمِ **** وَاحْكُمْ بِمَا شِئْتَ مَدْحاً فِيْهِ وَاحْتَكِمِ

وَانْسُبْ إِلَى ذَاتِهِ مَا شِئْتَ مِنْ شَرَفٍ*** وَانْسُبْ إِلَى قَدْرِهِ مَا شِئْتَ مِنْ عِظَمِ

فَإِنَّ فَضْـلَ رَسُـوْلِ اللهِ لَـْيسَ لَـهُ***حَـدُّ فَيُعْرَبُ عَنْهُ نَاطِـقٌ بِفَـمِ

Tinggalkanlah apa yang dikatakan Kaum Nasrani mengenai Nabinya dan tetapkan serta sempurnakanlah apa yang kau kehendaki sebagai pujian Baginya

Nisbatkanlah pada dirinya apa yang kau kehendaki daripada kemuliaan dan nisbatkanlah pada kedudukannya apa yang kau kehendaki daripada keagungan

Karena keutamaan Rasulullah tidaklah ada baginya batas untuk diungkapkan seorang pembicara dengan mulutnya

Jadi sungguh sangat mengherankan jika pujian-pujian kepada Nabi ﷺ yang disebutkan dalam shalawat-shalawat para ulama dan dalam syair-syair dikatakan berlebihan. Bahkan puja-puji itu sebenarnya adalah kurang dan selamanya tidak bisa sebanding dengan keagungan Rasulullah ﷺ walau pun ditulis dalam ribuan jilid kitab.

Blog Tarbiyah Wadda’wah Rabithah Alawiyah
https://rabithahalawiyah.org/blogs